Berita kekerasan datang dari Poso, belasan orang warga sipil tewas tatkala terjadi bentrok antara warga dengan aparat kepolisian. Ini kejadian yang kesekian kali, polisi mengepung, menyerbu, menembak, membunuh warga Muslim guna mencari orang-orang yang oleh polisi dimasukkan ke dalam DPO (daftar pencarian orang).
Ingatan kita langsung melayang ke era otoritarianisme Orde Baru sebelum ini, dimana berbagai tindakan represif negara telah menimbulkan ketidaknyamanan di kalangan warga negara. Hanya bedanya di masa Orde Baru, operasi represif itu bekerja dan mengatas-namakan kepentingan pendekatan keamanan dari rezim otoriter dalam negeri. Tidak demikian halnya, tindak represif yang dilakukan oleh organisasi Densus 88 Anti Teror, ia justru bekerja untuk dan atas nama kepentingan supranegara, yakni sebuah kekuatan superpower yang menekan berbagai negara untuk tunduk pada agenda perang melawan terorisme yang didesain negara tersebut.
Sebagaimana namanya detasemen khusus, ini merupakan sebuah organisasi yang sifatnya khusus. Di masa lalu organisasi-organisasi yang didirikan secara khusus biasanya berpotensi menimbulkan ancaman tersendiri bagi sistem politik dan keamanan. Sebut saja lembaga aspri khusus, atau lembaga Opsus milik Ali Moertopo, kesemuanya beroperasi bagaikan siluman yang bisa saja menabrak aturan-aturan hukum dan bahkan konstitusi negara. Menyangkut Densus 88, muncul banyak temuan mengenai sejumlah penangkapan terhadap aktivis masjid dan pesantren yang dilakukan tanpa prosedur dan aturan yang berlaku. Bahwa dalam operasinya memburu pelaku terorisme disinyalir bukan tidak mungkin ada pihak yang tidak bertanggungjawab yang menjadikan operasi ini sebagai proyek bagi kepentingan sendiri. Di berbagai daerah muncul pemberitaan mengenai tindakan pelecehan terhadap hukum dan perundang-undangan yakni dengan sejumlah kasus penculikan dan penyiksaan yang dilakukan oleh Detasemen Khusus 88. Kesemua ini dapat terjadi karena Densus 88 dapat beroperasi tanpa kontrol yang berarti, baik dari pemerintah maupun dari DPR/DPRD.
Densus 88 dapat dikatakan merupakan organisasi bentukan asing, di bawah agenda global 'perang terhadap terorisme', yang sesungguhnya merupakan agenda terselubung yang di baliknya sarat membawa kepentingan-kepentingan Amerika Serikat. Dari segi ini, organisasi Densus 88 juga telah melanggar konstitusi kita, lantaran tidak ada kepentingan nasional apapun yang berada di balik pembentukan organisasi itu, yang ada hanya kepentingan negara asing.
Dari segi kedaulatan negara, pembentukan Densus 88 jelas merupakan pelecehan terhadap harga diri bangsa. Situasi demikian, secara amat kondusif didukung oleh arah kepemimpinan Presiden SBY yang memang dengan kental memposisikan dirinya sebagai salah satu pelayan setia negara AS. Dari enam presiden RI, SBY adalah yang terburuk dalam hal menjaga harga diri bangsa. Di luar kasus-kasus lain, yang paling fenomenal dan tentu tidak lepas dari ingatan kita, bagaimana pemerintahan SBY menyambut secara besar-besaran --dari segi personel keamanan yang dipersiapkan, diterjunkan, maupun biaya yang dihabiskan-- kedatangan Presiden AS Bush, tatkala 'tuannya' dari AS itu datang dalam kunjungan yang hanya beberapa jam di Indonesia. Niscaya sejarah akan mencatat semua tindak 'penghambaan' yang amat memalukan ini.
Kembali ke Densus 88, kecuali disuplai oleh dana ratusan miliar rupiah oleh pihak 'pemilik proyek' (AS), Densus 88 disinyalir mendapat latihan khusus yang instrukturnya didatangkan dari negara pemilik. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila dalam operasinya, Densus 88 lebih mengedepankan kepentingan asing ketimbang kepentingan dalam negeri bangsa Indonesia. Oleh karena tidak berlandaskan pada kepentingan nasional Indonesia, maka dalam sepak-terjangnya Densus 88 justru menimbulkan 'kerusakan sosial' yang tidak pernah diperhitungkan akibatnya oleh pemerintah. Beberapa kerusakan yang ditimbulkan dari operasi Densus 88, akibat dari aksi-aksi yang membawa agenda dan ditunggangi oleh kepentingan asing ialah:
1. Menimbulkan keresahan yang meluas di kalangan sebagian masyarakat Indonesia, khususnya kalangan umat Islam dan lebih khusus lagi kalangan aktivis Islam. Terbukti, dari ratusan orang yang tertangkap melalui operasi Densus 88, kesemuanya adalah umat Islam.
Di kalangan umat Islam operasi Densus 88 mengundang protes karena banyak praktek intimidasi serta diskriminasi terhadap aktivis Islam, serta kecenderungan kuat untuk mendiskreditkan. Muncul sejumlah laporan tentang tindakan penculikan dan penyiksaan yang dialami oleh aktivis Islam yang ditangkap oleh polisi.
2. Operasi yang bersifat sangat tendensius ini menyebabkan munculnya rasa ketidak-adilan di kalangan umat Islam. Dikaitkan dengan heterogenitas agama di Indonesia, tindakan Densus 88 justru meningkatkan potensi ketegangan antar-umat beragama lantaran muncul persepsi kuat bahwa operasi Densus 88 bertujuan melakukan pembersihan terhadap para aktivis Islam, padahal sudah menjadi rahasia umum dan terlihat secara kasat mata bahwa Densus 88 digerakkan oleh tangan-tangan asing.
Contoh paling nyata dari kerusakan operasi Densus 88 ialah aksi-aksi mereka di Poso. Detasemen Khusus 88 Polri dianggap telah melakukan aksi-aksi berlebihan dalam melakukan penanganan di Poso, Sulawesi Tengah. Tindakan Densus bentukan AS ini justru banyak merugikan warga Poso, karena telah memunculkan semacam 'ketegangan yang terpelihara' di sebuah wilayah konflik. Dengan sinyalemen yang dibuat banyak mendiskreditkan umat Islam sebagai teroris, telah menimbulkan rasa ketidak-adilan dan perlawanan warga Poso. Telah muncul semacam perasaan telah diperlakukan secara tak adil dari warga Muslim Poso yang beberapa kali dikepung dan ditindak secara kekerasan oleh polisi, karena di lain pihak pada saat yang sama polisi membiarkan otak kerusuhan di Poso, yakni 16 nama yang sejak 11 Maret 2001 disebut Tibo dkk di PN Poso.
Menyimak sepak terjang Densus 88 dan khususnya menyaksikan peristiwa kekerasan terakhir yang mengakibatkan banyak warga sipil tewas --karena ada laporan yang perlu diusut kebenarannya yang menyebutkan polisi menembak secara serampangan-- terlihat bahwa organisasi yang bernama Datasemen Khusus 88 Anti Teror justru berubah bentuk menjadi organisasi teror dan kekerasan itu sendiri. Selain itu, dalam peristiwa bentrokan tersebut polisi jelas telah mengabaikan adanya prinsip hukum asas praduga tak bersalah.
3. Dalam operasinya telah menimbulkan keresahan di tingkat grass root baik di perkotaan maupun pedesaan. Di perkotaan cara beroperasi sering kali sangat vulgar dalam upaya menjaring orang-orang yang dijadikan target operasi. Peristiwa ledakan yang terjadi di kediaman Ust. Abu Jibril dari Majelis Mujahiddin Indonesia merupakan contoh nyata bagaimana sebuah operasi direkayasa sedemikian rupa agar polisi punya dalih untuk menginterogasi atau menangkap seorang target tertentu.
Operasi Densus 88 juga merambah ke desa-desa, sehingga menimbulkan ketakutan di kalangan warga masyarakat. Banyak kasus warga desa harus menderita stress atau ketakutan akibat kedatangan personel Densus 88, sehubungan warga bersangkutan dituduh, dicurigai, disangka sebagai bagian dari jaringan teroris.
4. Dari sejumlah daerah media massa melaporkan berbagai kejadian yang lebih memalukan lagi menyangkut perilaku oknum-oknum anggota Densus 88 yang bertingkah layaknya preman 'berseragam', di antaranya terlibat perkelahian, mengamuk, dan tindak penganiayaan, dan berbagai aksi brutal ala premanisme lainnya.
0 komentar:
Posting Komentar